PENGANTAR BAGIAN KEDUA KEPADA KITAB PHILOKALIA (Bagian 2)

(Teks-Teks Ajaran Kerohanian dari Gereja Timur):Pilihan Teks-Teks dari Philokalia Yang diberi Catatan dan PenjelasanOleh: Arkhimadrit Romo Daniel Byantoro Ph.D.Dikompilasi dari Catatan :Allyne Smith

Pengantar (Bagian 2)Para Rahib (Petapa/Biarawan) dari Gunung Athos Js. Nikodemos dan Js. Makarios, kedua-duanya adalah rahib dari Gunung Athos, suatu Republik Monastik (Tempat Pertapaan) Otonomi yang terletak di semenanjung di wilayah timur-laut dari negara Yunani. Umumnya tempat ini dianggap sebagai pusat monastikisme (kehidupan mati-raga/pertapaan) Orthodox yang paling penting, Meskipun rumah2-pertapaan (monasteri/biara) resmi yang pertama itu didirikan pada abad kesepuluh,namun menurut tradisi sudah sejak abad-abad awal Kekristenan ada umat percaya yang telah menggunakan tempat itu sebagai tempat pengasingan diri dalam hidup doa. Dan menurut tradisi pula, Bunda Maria, yang pada masa tuanya ikut Rasul Yohanes (Yohanes 19:25-27) sejak kenaikan Sang Kristus ke Sorga, di Efesus, karena Rasul Yohanes menjadi Episkop di wilayah itu, menjelang kematiannya ketika dia diantar pulang kembali ke Yerusalem oleh Yohanes, perahunya kandas di tempat itu. Terpesona oleh keindahan tempat itu, ia berdoa kepada Putranya, agar tempat itu dijadikan sebagai tempat memuliakan Allah dan KristusNya, serta mengenang akan dirinya. Doa itu dikabulkan dan sejak saat itu tempat itu telah menjadi tempat orang mengasingkan diri untuk berpuasa dan berdoa,serta menyendiri demi pendekatan kepada Allah. Dan tempat itu akhirnya dikenal sebagai “Taman Sang Theotokos” atau “Taman Sang Perawan Maria”. Pada abad kesembilan Gunung Athos ini telah mempunyai daya-tarik tersendiri sehingga rahib-rahib seperti Js. Petrus dari Gunung Athos, dan Js. Evthymios Yang Lebih Muda mengasingkan diri ke tempat itu, bagi memusatkan diri untuk hidup doa, puasa, penyangkalan diri, kontemplasi dan mati-raga. Tradisi kontemplasi dari “Gunung Kudus” ini (demikianlah “Gunung Athos” ini dikenal di Yunani) telah mencapai puncaknya pada abad keempat belas, tetapi pada abad ketujuh-belas, tempat ini telah menjadi korban pengaruh-pengaruh pen-sekularisasi-an (pen-duniawi-an) dari dunia Eropa Barat. Menyadari bahaya bagi karakter spiritual yang otentik dari Gunung Athos ini, para pimpinan dari rumah-2 kerahiban Gunung Athos ini berusaha untuk memulihkan warisannya yang sesungguhnya. Salah satu pemimpin diantara mereka ini adalah Js. Nikodemos. Meskipun dia paling baik dikenalnya karena Philokalia itu, tetapi ia juga mengarang dan menterjemahkan lebih dari seratus buku mengenai kehidupan rohani. Js. Makarios, seorang yang menjadi teman sesama rahib dengannya yang kemudian meninggalkan Gunung Athos untuk menjadi Episkop/Uskup Agung di Korintus, membantunya didalam mengkompilasi “Philokalia” itu. Tradisi kerohanian atau tradisi spiritual dari Kekristenan Timur itu bukan terdiri dari “aliran-aliran/kelompok-kelompok pemikiran/praktek kerohanian” tertentu, sebagaimana di Gereja Barat Roma Katolik yang dikaitkan dengan suatu tarekat/ordo religius khusus tertentu (misalnya: Benediktin, Karmelit, atau Fransiskan). Namun demikian ada lebih dari satu pendekatan di Gereja Timur. Yang paling disukai di Gunung Athos itu dikenal sebagai “hesykhasme” (semacam tassawuf dalam agama Islam), dari kata Yunani “hesykhia”, yang diterjemahkan sebagai “kesenyapan”, “ketenangan”, atau “keteduhan “ batin. Ini bertumbuh pesat khususnya pada abad keempat belas di Gunung Athos, pada saat suatu kontroversi muncul mengenai pengalaman akan Allah. Seorang rahib bangsa Itali yang bernama Barlaam/Varlaam menjadi pengajar di Konstantinopel dan wilayah Yunani dan, sesudah mengunjungi para rahib di Gunung Athos, dia mulai menantang baik keabsahan dari doa-batiniah maupun keyakinan para rahib Gunung Athos bahwa para rahib itu mengalami Terang Tak Tercipta yang dilihat tiga Rasul Kristus di Gunung Tabor (Matius 17: 1-5), yaitu Terang Pengubah-Muliaan (Transfigurasi) yang terjadi dalam Diri Kristus. Barlaam berargumentasi bahwa terang yang mereka lihat itu bersifat material dan diciptakan. Bagi para rahib Gunung Athos, argumentasi dari Barlaam itu sama saja dengan menyangkal bahwa para rahib itu mengalami Allah itu sendiri. Js. Gregorios Palamas (tahun 1296-1359). seorang rahib dari Gunung Athos dann kemudian menjadi Episkop /Uskup Agung di Tesalonika, menjadi juru-bicara bagi para rahib Gunung Kudus itu. Dalam pembelaan atas posisi mereka itu, dia menjelaskan perbedaan menurut ajaran Kekristenan Timur antara “Essensi/Hakekat” (“Ousia”) dan “Energi” (“Energhia”) Ilahi. Kita tak dapat mengalami ““Essensi/Hakekat” (“Ousia”)-Nya Allah, namun kita dapat mengalami “Energi” (“Energhia”)-Nya Allah, yaitu tindakan dan karya Allah di dalam dunia. Energi-energi ini – termasuk Terang di Gunung Tabor yang dilihat ketiga Rasul itu – adalah bersifat ilahi dan tak tercipta. Dengan demikian kita dapat mengalami Allah, di dalam Enhergi Ilahi-Nya, bukan hanya sekedar mengalami sesuatu yang tercipta di luar Allah. Gunung Athos masih terus berlanjut sebagai tempat dari 20 Rumah-Kerahiban/Monasteri dan setidak-tidaknya puluhan “skiti” (rumah-rumah pertapaan kecil-kecil yang dihuni hanya oleh bebarapa orang rahib). Hanya para rahib saja yang boleh tinggal di Gunung Athos, para pengunjung wanita tidak diijinkan . Tetapi mereka diijinkan mengunjungi salah satu cabang-cabang dari rumah-kerahiban yang tak jauh tempatnya dari Gunung Athos ini, yang dikhususkan untuk para wanita. Kira-kira ada 2000 orang rahib yang hidup di Gunung Athos pada saat ini. Sementara jumlah pengunjung yang begitu banyak dapat menjadi gangguan bagi para rahib, namun demikian mereka tetap berusaha untuk mempertahakan karakter kesenyapan/kesunyian/keeduhan dari kehidupan mereka. Diaken Agung John Chryssavgis, yang menjadi diaken dari Patriarkh Konstantinopel, dimana Romo Daniel pernah tinggal bersamanya di Monasteri Simonos Petra di Gunung Athos itu, selama beberapa bulan pada tahun 1984, di dalam bukunya yang terbaru “Terang Melalui Kegelapan: Tradisi Orthodox” menggambarkan jadwal khas kehidupan mereka sehari-hari, sebagai berikut;“Genta/Lonceng berdentang dalam kesenyapan malam kira-kira pada saat tengah malam, memanggil para rahib untuk melakukan doa senyap dan belajar. Kemudian “talanton” (kayu panjang untuk dipukul supaya mengeluarkan bunyi, seperti “kenthongan” di Jawa, atau “kulkul” di Bali) dibunyikan pada jam 4:00 pagi, mengundang para rahib untuk Sembahyang (Sembahyang SingSing Fajar, sebanding Sembahyang Subuh dalam Agama Islam, dan dilanjutkan dengan Liturgi Suci/Liturgi Ilahi,yaitu Ibadah Perjamuan Kudus atau yang di Gereja Barat dikenal sebagai Misa, biasanya dilakukan setiap hari) di dalam kesenyapan malam. Sesudah selesai para rahib tanpa bersuara sedikitpun dan pelan-pelan menuju ke ruang makan bersama, dan makan dengan tetap tanpa bersuara, pada jam 8:00 pagi. Dari jam 10:00 pagi sampai jamm 4:00 sore para rahib melakukan pekerjaannya masing-masing juga tanpa bersuara. Padn a jam 5:00 sore para rahib melaksanakan Sembahyang Senja (Sholatul Ghurub/ Vespers, sebanding dengan Sholat Maghrib dalam Agama Islam). Makan sore, tetap dalam keadaan tak bersuara, dilakukan jam 6:00 sore. Lalu diikuti waktu santai dari pekerjaan dan kesenyapan suara. Dimana para rahib saling bertutur-sapa satu sama lain atau dengan para pengunjung di ruang tamu, atau di balkoni. Sembahyang Purna-Bujana (Sembahyang Usai Santap/Completarium sebanding dengan Sembahyang Isya’ dalam Agama Islam) di Gereja Utama dilakukan jam 7:00 sore. Kemudian para rahib beristirahat dalam kesenyapan suara sama sekali, di “kelli” (“sel”, kamar kecil mereka masing-masing)” (John Chryssavgis, “Light through Darkness: The Orthodox Tradition”, Maryknoll,, N.Y. Orbis Books, 2004, hal.87-88)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *