Nepsis : Teologi Kristen Orthodox

Teologi Kristen Orthodox bukanlah sejarah, dogmatika, dan linguistik. Hal-hal itu adalah akademis semata atau scolastika, namun bukan teologi dalam kristen orthodox.

Lalu, apakah teologi Kristen Orthodox sebenarnya ?

Nepsis (atau nipsis; Yunani) adalah teologi Kristen Ortodoks. Ini berarti kewaspadaan atau berjaga-jaga dan merupakan kondisi ketenangan yang diperoleh setelah periode katarsis (pergolakan batin melawan pikiran negatif dan hawa nafsu jahat).

Istilah ini berasal dari Surat Pertama Petrus dari Perjanjian Baru 5:8 — NIV: … Waspada dan sadarlah. Musuhmu iblis berkeliaran seperti auman singa mencari seseorang untuk dimakan). Di sini nepsis muncul dalam bentuk kata kerja, dalam suasana imperatif, sebagai perintah mendesak untuk waspada dan terjaga: “waspada dan bangun”.

Teologi Nepsis sudah ada dan diterapkan oleh gereja timur sebelum alkitab dikanonkan secara lengkap. Teologi ini bukan berdasarkan alkitab atau buku-buku teologis dan filsafat, namun berdasarkan ‘’pengalaman melihat Allah’ :

Yohanes 1 : 14 :

Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita (kami : para murid/rasul), dan kita (kami) telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.

Para murid telah melihat ‘kemuliaan’ Allah itu di gunung Tabor dalam peristiwa yang disebut ‘transfigurasi’ (Matius 17:1-12, atau di Injil Markus 9: 2-13 atau di Injil Lukas 9: 28-36.)

Transfigurasi Kristus adalah peristiwa di mana Yesus dimuliakan di gunung, serta bertemu dengan Musa dan Elia di atas gunung itu. Muka-Nya bercahaya dan penuh dengan kemuliaan. Hal ini merupakan puncak spiritualitas dari Yesus. Pada waktu peristiwa itu, terdapat tiga murid Yesus bersama dengan Dia; Petrus, Yakobus dan Yohanes. Cahaya kemuliaan yang memancar dari wajah Yesus itu untuk memberikan pengajaran kepada para murid, bahwa di balik peristiwa yang menyedihkan yang akan dialami Yesus akan ada peristiwa yang akan membawa pada kemenangan, kemuliaan. Bahwa di balik hinaan dan caci maki akan ada kemuliaan yang akan menguatkan para murid dalam kehidupan mereka dalam mengikuti guru (Yesus) mereka itu.

Pengalaman inilah yang kemudian diajarkan oleh para rasul dan bapa gereja kepada para murid mereka, yaitu : cara mengalami perjumpaan dengan Kristus. Dan cara itu hanya bisa dicapai melalui kesucian hati karena :  Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah. (Matius 5 : 8). Jadi bukan ilmu-ilmu akademik : dogmatika, hermeneutik, linguistik, dan filsafat.

Namun  bagaimana mencapai ‘kesucian hati’ ? Caranya adalah dengan disucikan Allah melalui kerelaan seseorang melakukan nepsis/berjaga-jaga.

Bagaimana berjaga-berjaga ? yaitu dengan melakukan perjuangan melawan kerusakan nafsu duniawi demi mengalami pemurnian jiwa. 

Dalam Kekristenan Ortodoks, perjuangan melawan kerusakan nafsu dilakukan melalui upaya pertapaan untuk menyucikan/memurnikan jiwa diistilahkan : ‘asketisme’, yang berasal dari bahasa Yunani: askesis “olahraga”/ dalam bahasa Inggris : “workout” : Filipi 2 : 12, KJV : 

Wherefore, my beloved, as ye have always obeyed, not as in my presence only, but now much more in my absence, work out your own salvation with fear and trembling.

Filipi 2 : 12, LAI :

Hai saudara-saudaraku yang kekasih, kamu senantiasa taat; karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir,).

Pada tahap lanjut ini melibatkan “membawa pikiran ke dalam hati”. “Pikiran” adalah pengganti kata Yunani nous (νοῦς) yang sulit diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, yang di sini menunjukkan kemampuan jiwa (yang dimurnikan) manusia masuk ke dalam persekutuan dengan Tuhan.

Pemurnian jiwa, yang dicapai hanya melalui bantuan rahmat ilahi, diupayakan melalui upaya seseorang untuk memenuhi perintah-perintah Kristus, partisipasi dalam Misteri Suci Gereja Ortodoks Kristen, liturgi suci, doa harian pribadi termasuk devosi kepada Doa Yesus, puasa menurut kalender Gereja, perayaan hari-hari suci, studi Kitab Suci dan kehidupan orang-orang kudus, dan kewaspadaan atas pikiran untuk mencegah pikiran berdosa menjadi tindakan berdosa, dan kemudian nafsu.

Ketika orang Kristen dimurnikan, pada waktunya ia mencapai tahap theoria atau iluminasi. Pada titik ini, kehidupan kontemplatif dimulai. Semua praktik pertapaan harus dipahami hanya sebagai sarana yang dengannya tujuan kehidupan Kristen dikejar. Ini adalah perolehan Roh Kudus, yang disebut theosis, yang berarti penyatuan manusia dengan Allah melalui “pengilahian” manusia. Menurut Js. Athanasius, “Tuhan menjadi manusia sehingga manusia bisa menjadi seperti Tuhan, agar manusia menyatu denganNya.”

Ket gambar : gunung Tabor, di Galilea, lokasi peristiwa Transfigurasi

Icon : Transfigurasi di gunung Tabor

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *